Sadel sepeda buah kelapa ini benar-benar sadel dari buah kelapa. Adaalasan mengapa menggunakan buah kelapa sebagai sadel, bukan ingin dikatakan unik atau aneh, melainkan karena keterpaksaan. Berikut kisah Agung Hartadi dari Yogyakarta yang diungkap di Intisari.
Setiap hari Minggu di minggu pertama setelah gajian, Agung selalu mengisi liburan dengan acara memancing ikan di sungai Opak di daerah Gunung Kelir, Plered, Bantul, Yogyakarta yang terletak kurang lebih 6 km dari tempat tinggalnya. Biasanya seharian dari pagi sampai sore terkadang bersama teman atau sendirian.
Kebetulan kali ini, acara memancing sendirian tanpa dibarengi teman. Dengan sepeda pancal (ontel) Agung bergegas menuju tempat biasa memancing di sungai opak. Kebetulan lokasi memancing kali ini agak sulit dicapai dengan sepeda, lantas Agung pun memarkir dan mengunci sepeda di semak-semak pohon yang letaknya agak jauh dari tempat memancing.
Hampir sehari penuh Agung asyik memancing di tempat yang sejuk dengan kicauan burung yang merdu, sampai tak terasa waktu beranjak sore. Agar tidak kemalaman sampai di rumah, Agung bergegas membawa ikan hasil pancingan menuju tempat menaruh sepeda. Alangkah terkejut melihat ketidakberesan pada sepeda yang diparkir. Sadel sepeda hilang.
Ini jelas perbuatan orang yang bukan hanya jahat, tapi juga sangat kurang ajar dan jahil. Cuma sadel sepeda yang diembat. Mencuri kok hanya sadelnya. Tanpa sadel sepeda, Agung hanya mempunyai 2 pilihan, menuntun sepeda dengan jarak 6 km dan pastilah sampai di rumah hari telah berganti malam. Atau terpaksa menaiki sepeda tanpa sadel dengan resiko pantat bisa celaka.
Di tengah perasaan marah, jengkel sekaligus bersyukur cuma sadel sepeda yang hilang, timbul ide untuk mengatasi persoalan ini. Kebetulan di pematang sawah dekat lokasi mancing banyak buah kelapa kering (istilah Yogya: cumplung) yang berlubang karena dimakan tupai. Segera mencari cumplung dengan lubang yang pas dengan ukuran dudukan sadel.
Dengan sadel sepeda buah kelapa sebagai sandaran pantat, Agung menggenjot sepeda, meski diikuti pandangan semua orang di sepanjang jalan. Beberapa orang malah tertawa melihat sadel cumplung sepeda Agung.
“Biarlah orang tertawa atau mungkin menganggap saya kurang waras. Tak apalah, lebih baik malu di jalan daripada harus menuntun sepeda sejauh 6 km dan kemalaman sampai rumah”
Tak ada sadel, cumplung pun jadi.
Saya malah penasaran kalo dikendarai trus seperti apa ya? Bentuknya kan kurang ergonomis tuh. 😀
Wajar sih kalo orang-orang pada ketawa. Hehehe…
Bener-bener lucu ini… tapi kreatif. 🙂
Nggak bermaksud bikin lucu, tapi saya juga geli membayangkannya.