Kalau kita mau merenung sejenak, terkadang kita merasa digdaya dan sering meremehkan sesuatu yang kecil bahkan sesuatu maha kecil yang tak kasatmata. Saat ini (ketika artikel ditulis) manusia yang mengaku hebat dan luar biasa, sebagai penguasa alam semesta menjadi kocar-kacir dan tak berdaya oleh makhluk maha-kecil.
Berikut ini tulisan Prof Djoko Saryono yang saya kutip ini bisa menjadi gambaran bahwa “si kecil” dan tak kasatmata ini akan selalu ada dan akan menjadi wabah epidemik dan pandemik.
Sejak dahulu kala kehidupan manusia di dunia berisi serangkaian bencana — dari yang ringan-kecil sampai maha dahsyat pandemik — selain berisi serangkaian kenikmatan berkah dan anugerah. Pada satuan waktu tertentu, alam semesta seolah mengirimkan bencana kepada kehidupan manusia — selain Allah senantiasa mengirimkan anugerah dan berkah yang nikmatnya tiada tara.
Salah satu bencana yang seolah secara siklis dikirimkan alam kepada manusia ialah wabah baik epidemik maupun pandemik — di samping bencana gempa, likuifaksi, dan tsunami. Dalam sejarah kehidupan manusia wabah yang sering menggemparkan dan melumpuhkan kehidupan atau kebudayaan justru disebabkan oleh makhluk renik berupa jamur, bakteri, dan atau virus. Sejauh tercatat dalam sejarah (atau buku) jamur, bakteri atau virus sering menjadi wabah epidemik dan pandemik yang berskala regional dan bahkan global.
Seperti tergambar dalam buku Geographies of Plague Pandemics, berdasarkan ruang dan waktu, nyaris seluruh bagian tertentu muka alam bumi pernah mendapat “jatah” wabah pandemik yang disebabkan oleh bakteri atau virus tertentu — tampaknya bakteri atau virusnya juga cenderung berbeda-beda dan selalu ada yang baru.
Seperti juga tergambar dalam buku Epidemics and Pandemics: Their Impact in Human History, bagian-bagian bumi ini mendapat “arisan” wabah pandemik yang disebabkan oleh bakteri atau virus, yang terlihat selalu baru dan memperbaharui diri. Sejak abad-abad jauh Sebelum Masehi sampai kini, jatah bencana wabah pendemik oleh bakteri atau virus dipergilirkan ke bagian-bagian dunia, yang dengan sangat cepat kemudian mengacaukan tata hidup dunia yang ada.
Sejak dahulu sampai sekarang, tampak manusia — juga negara atau bangsa — selalu kalang kabut dan “gelagapan” menghadapi wabah pandemik yang datang dengan cepat dan disebabkan oleh bakteri atau virus. Dengan makhluk kecil dan maha-kecil — yang tak bisa dilihat mata dan bahkan alat canggih manusia — hidup dan kebudayaan telah mengalami hempasan luar biasa, tak jarang kandas. Seperti dunia kita sekarang, kalang kabut dan seolah berhenti karena wabah pandemik virus korona tipe baru (tipe 7 yang dinamai COVID 19).
Masihkah manusia mengaku hebat dan luar biasa, sebagai penguasa alam semesta kalau dengan makhluk maha-mungil saja kocar-kacir dan tak berdaya? Yang kecil dan sederhana terbukti lebih berdaya dan digdaya dari manusia yang mendaulat diri homo sapiens.
Rendah hati dan tak menyepelekan segala sesuatu dituntut dari manusia oleh makhluk alam semesta lainnya. Manusia perlu rendah hati dan menghormati sesama dan alam semesta. Kecukupan yang menjaga keseimbangan rantai kehidupan diutamakan. Keserakahan yang menghancurkan rantai kehidupan ditinggalkan.